Opini: Mahasiswa dan Keterlibatan dalam Politik Praktis: Tantangan Menjaga Jati Diri sebagai Agen Perubahan
Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change, penggerak masyarakat, serta pemegang tanggung jawab moral untuk mengawal perubahan sosial di Indonesia. Posisi mahasiswa dalam sejarah bangsa ini tidak dapat diabaikan; mereka berperan aktif dalam peristiwa besar seperti Reformasi 1998, yang menumbangkan rezim Orde Baru. Mahasiswa di masa itu dianggap sebagai suara nurani rakyat yang berani menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan perubahan tanpa terikat pada kepentingan politik tertentu. Namun, belakangan ini, fenomena keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis semakin marak. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya independensi dan netralitas yang selama ini menjadi ciri khas mahasiswa.
Secara teoritis, mahasiswa memiliki peran penting sebagai kelompok
intelektual muda yang kritis terhadap situasi sosial-politik di sekitarnya.
Mereka diharapkan mampu menjadi penjaga nilai-nilai keadilan dan perubahan
positif di masyarakat. Namun, realitas menunjukkan tren yang memprihatinkan, di
mana semakin banyak mahasiswa yang terlibat secara aktif dalam kampanye politik
praktis, bahkan secara terang-terangan mendukung kandidat tertentu pada ajang
pemilihan umum.
Survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada
tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 27% mahasiswa
di kota-kota besar Indonesia secara aktif terlibat dalam kegiatan kampanye
politik, baik sebagai relawan maupun sebagai pendukung terbuka kandidat
tertentu. Data ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mahasiswa yang seharusnya
menjadi penjaga independensi dan kritisisme justru mulai terkooptasi oleh
kepentingan politik jangka pendek.
Berdasarkan temuan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Indonesia (LP2M UI), mahasiswa yang terlibat aktif dalam
politik praktis cenderung kehilangan objektivitas dalam mengkritisi kebijakan.
Sebanyak 32% dari mahasiswa yang diwawancarai mengaku merasa kesulitan
menjaga netralitas ketika mereka sudah terlibat dalam tim kampanye. Situasi ini
jelas bertolak belakang dengan prinsip mahasiswa sebagai agen perubahan yang
netral dan independen.
Mahasiswa yang terjun dalam politik praktis sering kali kehilangan
identitas ideal mereka sebagai kelompok yang netral dan kritis. Alih-alih
menjadi kekuatan independen yang mampu mengawasi kebijakan pemerintah,
mahasiswa justru berisiko menjadi alat politik bagi kepentingan tertentu. Hal
ini berpotensi merusak citra mereka sebagai kelompok intelektual yang bebas
dari pengaruh eksternal.
Dalam buku "Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Pembangunan
Nasional" oleh Prof. Dr. Arief Budiman (2022), disebutkan bahwa
independensi mahasiswa adalah pilar utama yang harus dijaga jika mereka ingin
tetap relevan sebagai penggerak perubahan. Ketika mahasiswa terlalu condong
pada salah satu pihak politik, mereka tidak lagi bisa berperan sebagai pengawas
yang objektif. Lebih dari itu, mereka kehilangan kemampuan untuk menyuarakan
kebenaran karena sudah terikat pada kepentingan tertentu.
Studi yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di
sejumlah universitas besar pada tahun 2024 menemukan bahwa keterlibatan mahasiswa
dalam politik praktis memicu peningkatan konflik internal sebesar 15% di
antara organisasi mahasiswa. Sebagian besar konflik ini berkaitan dengan
perbedaan afiliasi politik yang kemudian merusak solidaritas antarmahasiswa.
Alih-alih menjadi jembatan untuk diskusi yang konstruktif, kampus justru
berubah menjadi medan perseteruan yang mengganggu kegiatan akademik.
Salah satu ciri khas mahasiswa yang selama ini menjadi kekuatan utama
mereka adalah kemampuan untuk tetap kritis dan netral terhadap berbagai isu
sosial dan politik. Namun, keterlibatan yang terlalu dalam dalam politik
praktis membuat mahasiswa rentan kehilangan kemampuan tersebut. Mahasiswa yang
sudah terlibat sebagai pendukung kandidat tertentu cenderung hanya mengkritisi
kebijakan yang merugikan pihak yang mereka tentang, sementara kebijakan yang
mendukung pihak yang mereka dukung jarang dikritisi, meskipun kebijakan
tersebut bermasalah.
Menurut Dr. Syamsuddin Haris dalam karyanya "Mengembalikan
Netralitas Pemuda dalam Dunia Politik" (2021), mahasiswa seharusnya
menjadi kekuatan moral yang berani menyuarakan kebenaran tanpa terpengaruh oleh
kepentingan politik praktis. Netralitas adalah prinsip dasar yang memungkinkan
mahasiswa tetap kritis terhadap semua kebijakan, tanpa terkekang oleh afiliasi
politik tertentu. Ketika mahasiswa mulai berpihak, peran mereka sebagai kontrol
sosial menjadi tumpul dan tidak lagi efektif.
Untuk menghadapi tantangan ini, mahasiswa perlu menyadari kembali peran
mereka sebagai agen perubahan yang independen. Beberapa solusi yang dapat
diimplementasikan untuk menjaga netralitas mahasiswa antara lain: (a). Meningkatkan Literasi Politik Mahasiswa:
Pendidikan politik di kampus harus lebih ditekankan agar mahasiswa memiliki
pemahaman yang mendalam tentang politik tanpa harus menjadi partisan. Dengan
literasi politik yang kuat, mahasiswa dapat menganalisis kebijakan secara
objektif tanpa terjebak pada kepentingan kandidat atau partai tertentu. (b). Mendorong Forum Diskusi yang Kritis dan
Netral: Kampus dan organisasi mahasiswa perlu memfasilitasi forum
diskusi yang netral dan terbuka untuk mendiskusikan isu-isu politik tanpa
tekanan afiliasi. Hal ini dapat membantu mahasiswa untuk tetap kritis tanpa
harus terlibat secara langsung dalam politik praktis. (c). Mengutamakan Aktivitas Sosial yang Berdampak
Langsung pada Masyarakat: Daripada terlibat dalam politik praktis,
mahasiswa sebaiknya fokus pada kegiatan sosial dan advokasi masyarakat. Ini
dapat mencakup program-program pemberdayaan komunitas, penyuluhan, atau
proyek-proyek penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan begitu,
mahasiswa tetap dapat memberikan kontribusi tanpa harus terjebak dalam politik
praktis. (d). Menegaskan Kode Etik
dalam Organisasi Mahasiswa: BEM dan organisasi kampus lainnya perlu
menegaskan kembali pentingnya netralitas dan independensi. Mereka dapat
menetapkan aturan yang melarang keterlibatan langsung dalam kampanye politik
untuk menjaga integritas organisasi. (e) Membangun Kesadaran Kolektif: Mahasiswa perlu memperkuat
solidaritas di antara sesama rekan agar tidak mudah terpecah karena perbedaan
pandangan politik. Dengan membangun kesadaran kolektif bahwa peran utama mereka
adalah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, mahasiswa bisa tetap fokus pada
misi yang lebih besar.
Mahasiswa perlu menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam politik praktis
tidak hanya mengancam netralitas mereka, tetapi juga merusak citra sebagai agen
perubahan yang kritis dan independen. Sebagai kelompok yang dipercaya oleh
masyarakat untuk menjadi pengawas kebijakan, mahasiswa harus menjaga jarak dari
politik praktis yang partisan.
Dengan memperkuat literasi politik, membangun forum diskusi yang netral,
dan mengutamakan advokasi sosial, mahasiswa dapat terus menjalankan peran
sebagai kekuatan moral yang netral dan berfokus pada kepentingan publik. Jika
mahasiswa berhasil menjaga jati diri mereka sebagai agen perubahan yang sejati,
mereka tidak hanya akan menjadi pilar penting bagi demokrasi Indonesia, tetapi
juga menjadi penjaga nurani bangsa di tengah derasnya arus kepentingan politik
yang terus berkembang.
Terimakasih udah publish
BalasHapus